Keadilan hari ini sedang dipertontonkan secara telanjang. Penebang empat batang kayu di lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Musim Mas ditangkap serta langsung dikurung oleh penyidik polres pelalawan, sedikitpun tidak ada belas kasihan rakyat kecil yang hanya mencari sesuap nasi. Segala peralatan hukum disiapkan agar "si miskin" segera di sidangkan dan dihukum layaknya orang yang paling berdosa merusak lingkungan. Di depan mata, banyak laporan korupsi serta lahan HGU diduga bermasalah tidak diusut secepat empat penebang kayu.
Pertama, keadilan sudah tidak lagi menjadi barang berharga di negeri ini. Keadilan bisa dibeli dan bisa dikebiri.
Kedua, keadilan tidak lagi menjadi tujuan akhir dari pencarian hukum. Keadilan hanya dibaca dari pasal-pasal yang ada dalam perundang-undangan. Tidak heran Soetandyo Wingyosubroto mengandaikan jika pasal-pasal atau unsur-unsur pasal hukum yang dicari, maka keadilan bisa diperdagangkan tergantung pihak yang mempunyai kekuasaan yang menjalankannya. Jika yang memegang kekuasaan peradilan pidana itu jahat, maka jauhlah keadilan itu, jika yang memegang kekuasaan peradilan pidana itu baik, maka dia akan sekuat tenaga dan pikiran mencari nilai keadilan.
Ketiga, keadilan tidak lagi menjadi alat sebagai pererat hubungan antar masyarakat. Hadirnya hukum positif dalam kasus-kasus tertentu membuat masyarakat terpecah. Kehadiran hukum positif seperti itu sebenarnya karena dijalankan oleh penegak hukum yang kaku dalam memaknai hukum itu sendiri.
Karena beberapa persoalan pemaknaan nilai keadilan tadi, tumbuh dan suburlah benih-benih korupsi. Benih-benih korupsi ini bermula dari ketidakadilan dalam penegakan hukum. Ketidakadilan hukum ini bisa diterjemahkan tidak bergeraknya hukum sebagaimana mestinya. Dalam bahasa sosial, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Mengapa hukum bisa seperti itu, Seidman mengatakan tidak berjalannya hukum dikarenakan faktor hukum, sturuktur hukum dan budaya hukum.
Dari ketiga faktor tersebut, benih korupsi sangat dekat dengan struktur hukum dan budaya hukum. Struktur hukum yang terlalu besar apabila tidak dikontrol dengan baik justru akan menjadi tempat tumbuh suburnya benih korupsi. Budaya hukum juga menjadi tempat yang subur berkembangnya benih korupsi. Semua perangkat yang ada dalam masyarakat harus menciptakan tempat anti korupsi.
Jika tidak mengutamakan keadilan dan menciptakan struktur hukum dan budaya hukum yang ketat, akan sangat sulit membunuh benih korupsi.
Penulis: Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH Direktur FORMASI RIAU
Tulis Komentar